Tasawuf Kosmopolitan (3)
Bab Iman dan Cobaan
Iman Dan Cobaan
Aku menghadapi ujian kereta terlanggar tiang pembahagi. Insiden membuat aku tidak dapat mencari rezeki dan merayau-merayau di sekitar Lembah Klang ini. Bagai kepatahan sayap. Ujian besar untuk aku.
Lalu, aku membelek buku Tasawuf Moden karangan Buya Hamka. Kebetulan pula aku membaca bab 'Iman dan Cobaan" pada halaman 74. Aku tersentak. Seakan-akan Tuhan ingin mengajar aku apa itu erti Iman dan Cobaan. Aku tidak tahu ini hanya sekadar kebetulan atau Tuhan benar-benar ingin menjentik diriku dengan ujian yang aku hadapi ketika ini.
Iman Dan Cobaan menurut Hamka.
Apakah dengan semata-mata taat mengerjakan ibadah itu saja, sudah bisa seorang itu disebut mukmin? Atau apakah mentang-mentang telah meninggalkan kejahatan telah boleh disebut mukmin?
Belum! Sebab iman itu adalah kemuliaan yang mahal harganya. Tidaklah berbeda-beda seorang manusia dengan manusia yang lain pada sisi Tuhan lantaran harta bendanya, atau lantaran pangkatnya, keturunan dan lain-lain.Yang berbeda adalah lantaran kelebihan iman.
Sebab itu mesti diuji Tuhan lebih dahulu dalam dalam dan dangkalnya iman seseoarang, murnikah atau palsu, emaskah atau kaca. Jika tidak bergeser iman dari tempat ya seketika kedatangan ujian dan cobaan, barulah bisa disebut.
Kadang-kadang telah berkali-kali dia berdoa, bermohon diri meminta dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Tetapi permintaanya dan doanya itu tidak juga dikabulkan Tuhan. Apakah mendongkol dia lantaran belum terkabul? Atau berkecil hatikah dia?
Seseorang mukmin tidak mendongkol dan kecewa lantaran permintaanya belum terkabul. Karena dia tahu bahwa dirinya itu dibawah perintah dan aturan Tuhan semesta. Yang Mahatahu mengagak-menentukan, yang segala aturanNya tidak diperbuat dengan sia-sia, yang tidak mau menganiaya hamba-Nya. Demi kalau dia membantah, terlepas dia dari darejat Ubudiah (perhambaan) kepada Syaithaniyah terkutuk, yang suka sekali membantah ketentuan.
Nyata dan terang bahwa kekuatan dan kecukupan iman itu dapat dibuktikan seketika datang bala dan bencana, ujian dan cobaan.
Nabi Zakaria yang taat, pernah dipaksa oleh seorang raja yang zalim untuk menghukumkan halal barang yang diharamkan Allah, yaitu menikahi anak tiri. Zakaria tidak mau mengubah hukum,walaupun bagaimana, sehingga dia dibunuh oleh raja itu. Demikianlah juga anaknya Yahya, dibunuh juga sebab keras mempertahankan hukum sebagaimana ayahnya. Orang yang dangkal penyelidikan tentang arti perjuangan hidup tentu akan bertanya ;
Apakah sebab Tuhan Allah membiarkan saja utusan yang dipilih-Nya mati mati dibunuh orang? Mengapa tidak dipelihara-Nya? Lemahkah Tuhan itu membela utusan-Nya?
Kita jangan menyangka, bahwa Allah lemah menolong hamba-Nya. Teka-teki hidup itu amat banyak, orang berakal mati di dalam kelaparan, orang bodoh dapat mengumpulkan harta. Pembela kebenaran terpencil di dalam hidup.
Pembohong menjadi kaya-raya. Orang kafir mempunyai harta-benda berbidang-bidang tanah, orang Islam jadi penyapu jalan.
Selidiki dahulu rahasia semua, baru ambil keputusan. Sebelum kita tilik kesengsaraan yang ada pada kita, mari kita lihat sengsara yang ditanggung nabi-nabi.
Ya'kub kehilangan anak yaitu Yusuf yang sangat dicintai-nya. Bertahun-tahun kemudian hilang pula adik Yusof yang bernama Benyamin. Ketika anak yang kedua (Benyamin) itu hilang lantaran ditangkap oleh wakil raja Mesir yaitu Yusof sendiri. Ya'kub tidak juga memutuskan pengharapannya dari Allah.
Dia hanya menerima kejadian itu dengan pengharapan yang lebih besar. "Moga-moga Allah mengembalikan anak-anakku itu kepadaku semuanya". Dan katanya, "Sabarlah yang lebih baik, dan kepada Allah tempat meminta tolong."
Kemudian anak itu kembali semua.
Lihat Musa! Dilahirkan dalam sengsara, dikirimkan dalam sebuah peti oleh ibunya ke dalam Sungai Nil. Setelah besar diutus menjadi Nabi, sekian lama menumpang di rumah ayah angkatnya, Fir'aun sendiri. Kemudian datang perintah bahwa ayah angkat itulah musuhnya. Pekerjaan begitu besar yang dipikulkan Allah, diri miskin, dari bangsa yang miskin pula. Menempuh perjuangan di antara kekafiran yang amat besar.
Lihat Ibrahim, cobaan apakah yang melebihi cobaaan yang menimpa Ibrahim? Imannya diuji dengan ujian yang bukan tandingan beratnya yaitu disuruh menyembelih anak kandung sendiri.
Di situlah tersimpannya kekuatan iman, bukan pada suju' dan ruku'. Sujud dan ruku' adalah dahan yang terbit daripadanya. Dahan akan kurus, kayu akan lapuk kalau uratnya tidak teguh ditimpa angin dan badai. Tetapi kalau tanahnya gemuk, uratnya teguh, maka angin badai akan menolong menguatkannya dan tidak tumbang kalau belum datang jangkanya.
Tak ubahnya meningkat cobaan iman dengan meningkat anak tangga yang bertingkat-tingkat. Tiap-tiap satu anak tangga dinaiki, datanglah dari bawah suatu pukulan yang hebat mengenai pinggul yang mendaki itu. Kalau tangan kuat bergantung, kalau kaki tiada lemah dan akal tiada hilang, pukulan itu akan mendorong menaikkannya ke atas setingkat lagi. Tetapi kalau tangan lemah kaki tak kuat, akal hilang, pikiran kusut, maka pukulan itu akan meruntuhkan ke bawah.
Yang kita sayangkan kalau tangga itu telah tertingkat beberapa tingkat, jatuhnya tentu bukan ke tangga yang di bawah kaki, tetapi ke anak-tangga yang dibawah sekali. Maka sukarlah naik kembali sebab badan telah sangat payah. Tidak boleh lengah seketika meningkat, takut kalau kekerasan pukulan menyebabkan jatuh terguling-guling ke bawah payah naik lagi.
Maka pukulan itu menolong yang kuat dan pukulan semacam itu juga yang menjatuhkan si lemah. Padahal dalam hidup harus mendaki kalau hendak menurun, karena penurunan itu ada di balik pendakian.
Berkata Hasan Basri ; tabi'in yang masyhur,
"Seketika badan sehat dan hati tenang,semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan, barulah dapat diketahui benar atau tidaknya pengakuan itu. Orang yang berkehendak supaya terkabul segala permintaanya itu hari ini juga tiada sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman."
Janganlah hendak memborong dunia untuk diri sendiri. Karena bukan kita saja hamba Allah yang mesti dihidupi-Nya. Dia mesti adil. Tidak semua permintaan kita harus dikabulkan Tuhan. Karena Dia lebih kenal batin kita daripada kita sendiri. Seorang anak-anak belum pantas diberi uang lebih daripada kekuatan akalnya. Belum tentu bahagia yang akan didapatnya lantaran permintaanya dikabul.
Seketika penulis tinggal di Makassar pada tahun 1932, adalah sebuah bernama "Rumah 100 000" Bernama demikian, lantaran yang empunya rumah itu memang lotere 100.000 rupiah. Oleh karena kemenanganya itu dibuatnya rumah itu. Lalu dia beristri empat (4) orang.
Dibelinya pula sebuah mobil yang indah dan mahal. Empat (4) tahun di belakang ( dari tahun 1928 sampai 1932) uang itu habis, mobil terjual, istri keempat-empatnya lari, dan rumah itu terjual kepada seorang Tionghoa, dan si pemenang lotere 100.000 itu kembali kepada keadaannya empat tahun yang lalu. Utangya 55, sen pada satu toko pada tahun 1928, maka pada tahun 1932 itu belum juga terbayar. Di rumah itu masih tertulis "Anno 1928" Dan di namai orang "Rumah Seratus Ribu".
Uang itu tidak mahal baginya, sebab didapatnya tidak dengan keringat mengalir. Dan , kesiap-sediaan penerima tidak ada pula.
Makhluk minta kepada Allah supaya diberi rezeki, telah diberi. Dia pula yang tak pandai menggunakan. Siapa yang salah? Sebelum ada kekayaaan, hilanglah akal, ke mana gerangan dipergunakan. Hal ini bolehlah jadi i'tibar.
Bersusah hati kerana sengsara dan banyak penderitaan.
Manakah yang besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam? Yang di dalam syurga bersenang-senang dengan istrinya, lalu disuruh ke luar.
Dan manakah yang susah penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Nuh, yang meneyeru umat kepada Islam, padahal anaknya sendiri tidak mau mengikuti? Sehingga seketika disuruh Tuhan segala ahli kerabatnya naik perahu, anak itu tidak ikut. Malah ikut karam dengan orang banyak di dalam gulungan banjir. Di hadapan matanya! Dan kemudian datang vonis Tuhan bahwa anak itu bukan keluarganya.
Pernahkah kita lihat cobaan serupa yang ditanggung Ibrahim? Disuruh menyembelih anak untuk ujian, ke manakah dianlebih cinta, kepada Tuhannyakah atau kepada anaknya?
Ya'kub dipisahkan dari Yusufnya.
Yusuf diperdayakan seorang perempuan.
Ayub ditimpa penyakit yang parah.
Daud dan Sulaiman kena bermacam-macam fitnah. Demekian juga Zakaria dan Yahya. Yang memberikan jiwa mereka untuk korban keyakinan.
Isa al-Masih pun demikian pula
Muhammad lebih-lebih lagi.
Pernahkah mereka mengeluh?
Tidak, kerana mereka yakin bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghendaki perjuangan dan keteguhan. Mereka tidak menuntut kemenangan lahir. Sebab mereka menang terus.
Mereka memikul beban seberat itu, menjadi Rasul Allah, memikul perintah Tuhan kerana cintakan manusia. Oleh karena itu mereka tempuh kesusahan, pertama membuktikan cinta akan Tuhan, kedua mengembleng batin, ketiga karena rahim yang sayang dan segenap umat.
Maka apa lagi yang kita keluhkan lantaran cobaan? Sehingga manakah baru derajat kita,jika dibandingkan dengan nabi-nabi?
Mari kita tempuh liku-liku hidup, mari kita berjuang!
Mari kita bersabar, bertawakkal, dan berani!
Menurut contoh para nabi.
Tasawuf Moden, hal 74-80.
Buya Hamka
Comments
Post a Comment