TA'KULAN BUYA HAMKA PERIHAL PUASA PADA AYAT 183, SURAH AL-BAQARAH
TA'KULAN BUYA HAMKA PERIHAL PUASA PADA AYAT 183, SURAH AL-BAQARAH
Sedang pada ketika ini, ribut-ribut kembali melanda tatakala hangat isu seputar tentang "umat terdahulu berpuasa" yang dibangkitkan Dewan Ulama sebuah Hizbul.
Dengan rendah hati akan keterbatasan ilmu tafsir dan kesuntukan masa, justeru itu hamba cuba lah mencari-cari , syarahan Buya Hamka tentang ayat ini yang sudah pasti ada di dalam tafsir Al-Azhar.
Maka, terjumpa la artikel perihal ayat ini dan almarhum juga menjelaskan secara komprehensif berkaitan "umat terdahulu berpuasa", .
Ayuh kita sama-sama membaca dan menela'ah ;
__________________________________________________
Makna Perintah Puasa di Al-Baqarah 183 Menurut Buya Hamka
MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Ibadah puasa Ramadan merupakan salah satu dari Rukun Islam. Sebagai sebuah kewajiban bagi kaum muslimin, ibadah puasa diperintahkan Allah Swt melalui Surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Menurut Prof. Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Buya Hamka) dalam karyanya, Tafsir Al-Azhar Jilid 1, ayat di atas setidaknya mengandung empat bagian penting, yaitu hikmah, pelajaran, tujuan, dan faedah.
Mengutip penjelasan Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Ra, Hamka menyebut ayat yang dimulai dengan bunyi “Ya ayuhalladziina-aamanu” (wahai sekalian orang-orang beriman) dipastikan berisi suatu pesan yang sangat penting yang hanya bisa ditunaikan oleh orang-orang beriman saja.
“Kalau perintah tidak dijatuhkan kepada orang yang beriman tidaklah akan berjalan. Orang yang merasa dirinya ada iman bersedia menunggu, apa agaknya perintah yang akan dipikul itu. Dan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya dan bersedia pula bangun di waktu sahur (dinihari) dan makan pada waktu itu, karena Tuhan yang memerintahkan,” tulis Hamka.
Pelajaran: Puasa Adalah Suatu Kegiatan Agung, Telah dilakukan Umat Terdahulu
Dalam bahasa Arab, puasa disebut صيام atau صوم, yang artinya ialah menahan. Dalam pengertian syariat, صيام bermakna menahan makan dan minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu maghrib.
Sebelum datangnya Risalah Nabi Muhammad Saw, aktivitas puasa telah dilakukan oleh banyak umat, kebudayaan, dan keyakinan. Hamka menulis bahwa penganut Hindu, Buddha, agama Mesir Kuno dan yang lainnya telah memiliki ajaran serupa.
Umat Hindu misalnya, berpuasa untuk menaklukkan dominasi kekuatan ragawi serta kehendaknya. Jika manusia bisa lepas dari kehendak ragawi, Buddha berpendapat maka mereka akan mencapai derajat mulia, nirwana.
Sedangkan dalam tradisi agama Samawi, puasa juga dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan Nasrani. Kitab Taurat memuji dan menganjurkan umatnya untuk berpuasa. Begitu pula Kitab Injil, Nabi Isa As, Nabi Musa As, Nabi Zakaria dan Maryam yang secara spesifik disebut pernah berpuasa oleh Alquran.
Setelah Rasulullah Saw diutus, puasa ditetapkan sebagai ibadah. Puasa yang wajib melalui Ramadan, dan yang lain-lain sebagai ibadah sunnah (tathawu’).
Boleh baca pada pautan artikel di bawah 👇🏻untuk perbahasan yang lebih menyeluruh dan prolifik dari al-marhum. Wallahu a'lam.
Tanggal 26 Februari 2025, Rabu
Kabupaten Rantau Panjang, Klang Barat.
https://muhammadiyah.or.id/2023/03/makna-perintah-puasa-di-al-baqarah-183-menurut-buya-hamka/
Comments
Post a Comment